Rabu, 20 Mei 2009

Peranan Ilmu Psikologi

Dalam linkup sains modern, kajian stres termasuk salah satu objek studi psikologi. Psikologi adalah studi tentang pikiran dan bagaimana pengaruhnya terhadap prilaku (Kamus Oxford, hlm. 1022). Dengan bahasa sederhana, psikologi dapat siterjemahkan sebagai studi ilmu kejiwaan. Di dunia kedokteran dikenal istilah psikiatri lebih, yaitu studi dan penangganan gangguan mental. Psikologi lingkupnya luas, sedang psikiatri lebih khusus pada studi penagganan gangguan jiwa secara medis. Dalam praktik, masyakat sering tidak membedakan antara seseorang dan psikiater.
Ilmu psikologi tumbuh dari kultur masyarakat Barat. Ia muncul dari salah satu titik dinamika sosial di Eropa. Kegairahan masyarakat Eropa terhadap ilmu pengetahaun (science). Ilmu pengetahuan dianggap sebagai alternatif pengganti dogma-dogma ajaran gereja. Saat itu muncul semangat yang bertujuan mengamputasi peranan agama (gereja) dari kehidupan publik. Semangat sukalarisme tumbuh membabi buta, menolak semua yang berbau agama termasuk ajaran Islam. Padahal kebangkitan ilmu pengetahuan di dunia Islam ( khususnya di Andalusia, Spanyol).
Ketika masyarakat menjatuhkan “talak tetep” terhadap agama, mereka kebinggungan mencari pengantinya. Mereka tidak mau kembali ke agama, namun juga sangat membutuhkan nikai-nilai yang bisa mengisi kekosonagan jiwanya. Di sinilah, dunia barat menemukan psikologi sebagai solusinya. Psokologi bisa diartikan sebagai “agama bagi para penganut ideologi sains modern.
Stres termasuk topik besar dalam studi psikologi. Bahkan disini, studi psikologi dituntut untuk membuktikan peranan konkertnya. Paling tidak, psikologi harus mampu mengganti peranan agama di mata orang-orang yang sudah tidak lagi mempercayai agama. Psikologi harus mampu mengisi jiwa-jiwa manusia yang telah kosong dari iman dan keyakinan.
Di bagian ini kita akan membahas tentang peranan studi psikologi dalam mengatasi problem stres. Paparan ini sekaligus sebagai perbandingan sebelum kita mengkaji cara-cara Islam dalam mengatasi persoalan yang sama.
A.Psikologi Sebagai Solusi
Menurut pandangan psikologi, beberapa cara untuk mengatasi stres, yaitu:
(1) makan makanan bergizi;
(2) mengurangi makan yang berlemak ;
(3) menghindari bunyi-bunyi bising (lebih dari 85 decibel);
(4) menjalani hidup lebih santai (tidak terlalu menuntun);
(5) membangun reputasi diri yang tinggi. Adapun terapi-terapi untuk mengatasi stres, yaitu: meditasi, yoga, relaksasi, dan biofeeback.
Demikianlah penjelasan dari situs UMS Malaysia.
Meditasi, dalam bahasa kita di kenal dengan istilah semedi atau bertapa. Seseprang mengasingkan diri, duduk bersila dengan tenang,. Memusatkan pikiran, mengatur napas secara teratur, kadang sambil membaca mantra-mantra tertentu. Di negara-negara yang berkultur Hindu dan Budha, praktik serupa di kenal dengan istilah yoga (atau meditasi yoga). Relaksasi bermakna luas. Ia bisa berupa praktik semedi seperti di atas atau dengan mengendurkan otot-otot tubuh, mengambil napas secara dalam, berpikir rileks, dan lain-lain. Adapun biofeedback merupakan teknik pengendalian saraf-saraf tak sadar (otonom) melalui tindakan pemberian hadiah atau hukuman, untuk mengarahkan fungsi saraf-saraf otonom tersebut. Biofeedback dilakukan dengan bantuan peralatan canggih electroencephalograph untuk mengetahui aktivitas listrik yang sedang terjadi di otak
Herbert Benson, M.D., seoarng peneliti di Fakultas Kedokteran Harvard, menganjurkan metode respons relaksasi (the relaxation response) sebagai solusi stres. Respons relaksasi sebenarnya merupakan pegembangan dari transcendental meditation yang dkembangkan di Amerika oleh seorang guru dari India, Yogi Maharishi Mahesh. Ia adalah pengembangan luwes dari meditasi yoga.
Praktik respons relaksasi dilakukan dengan cara:
(1) duduk tenang dengan posisi nyaman;
(2) menutup mata;
(3) mengendurkan semua otot-otot (dari otot kaki sampai otot wajah);
(4) bernapas melalui hidung secara teratur, sambil mengucapkan kata “satu” di setiap tarikan napas, dilakukan sacara alami dan wajar;
(5) langkah ini dilakukan selama 10-20 menit. Setelah selesai, duduk sebentar sambil menutup mata, lalu membuka mata, kemudian boleh berdiri;
(6) hindari kecemasan, pertahankan sikap pasrah, jika muncul pikiran mengganggu abaikan saja dan mulai mengucapkan kata “satu”. Hal ini dilakukan sekali atau dua kali dalam sehari (Herbert Benson, 2000: 176-177).

Don R. Powell, Ph.D., presiden dan pendiri American Institute for Preventive Mendicine, di Southfield, michigan, dalam buku 365 Health Hints, membahas persoalan stres dalam porsi yang memadai (22 poin dari 365 poin yang dia sarankan) secara umum, powell ingin merangkum semua “kemungkinan” solusi psikologi yang ada.
Di antara solusi-solusi yang dianjurkan oleh Powell, antara lain: berbagi perasaan dengan orang lain, berolah raga fisik, mandi dengan air hangat, minum the ramuan obat tradisianal, melakukan relaksasi, menggunakan imajinasi untuk meredahkan ketegangan, memanfaatkan teknologi biofeedback, melakukan terapi flotasi, jangan takut menangis, tertawa sepuasnya, belajar menerima kritik, berfikir positif (positif thinking), mengatur waktu, tenang saat kemacetan, berhati-hati terhadap gejala Burnout, dan lain-lain (Don R. Powell, 2001: 254-285)
Sealin itu, juga dikenal terapi melalui obat-obatan, baik obat kimiawi maupun obat alami. Obat-obat kimiawi banyak digunakan di rumah sakit jiwa atau pusat-pusat pemulihan gangguan jiwa. Namun, ada juga obat kimiawi yang di jual di pasaran sebagai terapi ringan pereda stres. Adapun obat seperti nostresa, konon dibuat dari bahan-bahan alami. Ia berpengaruh terhadap saraf pusat (otak), saraf simpatik, kadar hormonal/glukosa, dan kadar kolesterol.
Pasca tragedi Tsunami 26 Desember 2004, ribuan masyarakat aceh mengalmi stres dan trauma pascabencana. Menyadari kenyataan ini, banyak kedatangan para sukarelawan dari berbagai negara untuk memberi terapi-terapi pereda stres. Terapi yang dilakukan berupa pemijatan tubuh, merangsang tubuh dengan sentuhan-setuhan halus, serta mendengar keluh kesah korban. Ini adalah praktik riil yang terjadi beberapa bulan lalu.
B. Kelemahan Studi Psikologi
Di atas telah dikemukakan berbagai solusi problem stres menurut disiplin ilmu psikologi. Secara teoristis, kita menemukan kelemahan-kelemahan mendasar dari penerapan metode psikologi itu. Bahkan, ia belum menjawab persoalan inti dari stres itu sendiri. Berikut ini beberapa catatan kritis yang bisa dikemukakan.
1. manfaat dari terapi psikologi hanya bersifat sementara, tidak berkelanjutan seperti yang di harapkan oleh semua orang. Misalnya terapi respons relaksasi yang diajurkan Herbert Benson. Terapi seperti itu hanya mengajak seseoramg tenang untuk sementara. Di sana orang diajak hening, sementara waktu melupakan semua beban pikiran. Lalu bagaimana setelah selesai menjalani terapi, seseorang kembali kedunia nyata, berhadapan dengan berbagai problem hidup riil? Hal serupa juga berlaku untuk terapi-terapi lain seperti biofeedback, flotasi, pemijatan tubuh, sentuhan halus, mengkonsumsi obat, dan lain-lain.
2. terapi psikologi hanya mampu mendinginka keadaan emosi seseorang, bulan memberikan ketentraman baginya. Metode berbagi perasaan, mandi air hangat, olahraga, berimajinasi, dan lain-lain hanya mendinginkan dari ketegangan. Ia tidak memberi sakinah seperti yang diharapkan. Ibarat kompor yang terbakar psikologi seperti kain yang basah yang bisa memadahkan api. Namun ia tidak bisa mematikan potensi api (bahan bakar) dari kompor itu
3. terapi-terapi psikologi tidak menyentuh sebab-sebab pemicu stres. Misalnya seseorang stres karena alasan kesempitan ekonomi. Bagaimana stres akan tertasi jika kondisi orang itu semakin hari semakin buruk? Mungkinkah upaya semedi bisa meredahkan kekecewaan hati seseorang yang beru terkena phk?
4. pendekatan psikologi tidak membentuk karakter kepribadian. Psikologi seperti permainan di permukaan. Ia tidak menyentuh akar terdalam kepribadian seseorang. Seandainya psikologi mampu menyentuh akar terdalam itu, ia tidak memberi warna yang jelas. Seseorang yang benar-benar hidup berlandaskan nilai-nilai psikologi tidak memperhatikan suatu karakter yang jelas.
5. Dalam banyak hal, psikologi hanya tampak menawan sebagai kumpulan teori- teori yang sulit diterapkan secara nyata. Psikologi bisa menjelasakan secara mengesankan berbagai bentuk manusia, disertai analisis latar belakang dan dampak-dampaknya. Namun, ia tidak mampu mengarahkan manusia mencapai sasaran-sasaran kebahagian sejati yang diharapkan.
Secara faktual, studi psikologi telah lama di kenal di dunia barat. Sejak Renaissance (abad 14-15 M), barat membutuhkan konsep ilmu jiwa( psikologi) sebagai pengganti dogma gereja. Psikologi telah dirindukan kedatangannya sejak zaman itu. Namun setelah ratusan tahun berjalan, kehidupan masyarakat di barat menampakan tanda-tanda kebahagian seperti yang diharapkan oleh studi psikologi itu sendiri. Mereka bukan bertambah bahagia, justru semakin sakit, hal ini diakui secara luas oleh pakar-pakar terpandang di barat.
Dale Carnigie mangatakan, saya telah tinggal di New York selama 37 tahun, da tak ada seorang pun yang mengetuk pintu rumahku dan memperingatkan bahawa penyakit emosi yang disebut “cemas” (worrying), suatu penyakit yang telah membuktikan dirinya sebagai pembunuh 10.000 kali lebih ganas dari penyakit cacar. Yah, tidak ada seorang pun yang pernah mengetuk pintu rumahku buat memperingatkan kepadaku bahwa tiap-tiap seorang dari sepuluh orang amerika terancam penyakit penyimpanan pribadi yang kebanyakan berakibat oleh rasa cemas!”
Carnegie mengutip dari hasil penelitian Dr. Harold C. Habien yang dipaparkan di hadapan american Association of Industrial Physicians and Surgeon bahwa sepertiga lebih para usahawan muda Amerika renta terkena penyakit jantung , mag, dan tekanan darah tinggi, akibat hidup yang penuh dengan ketegangan. Dalam hal ini Cargenie berkomentar “Inikah harga sukses itu? Dapatkah seseorang yang terpaksa membayar kemajuannya dengan penyakit jantung atau mag disebut sukses? Apakah keuntungannya bagi seseorang yang mendapatkan seluruh dunia, tetapi kehilangan kesehatannya? (Muhamad al-Ghazali, 1996: 34-35).
Sementara itu, Dor R. Powell mengatakan “kita(bangsa Amirika, pen.) adalah bangsa dari orang pesimis. The National Institute of Mental Health melaporkan bahwa kegelisahan merupakan masalah kesehatan mental yang sering di alami penduduk america. Hampir tiga belas juta orang Amerika menghabiskan sebagian waktu baiknya untuk perasaan gelisah. Mereka terlalu banyak khawatir” (Dor R. Powell, 2001: 271).
Sedang Herbert Benson mengatakan “Rakyat Amerika Serikat minikmati standar hidup dan kesejahteraan di atas mayoritas masyarakat dunia. Akan tetepi, sebagai individu dalam keserbaberlebihan, kita dihadapi ketidakbahagiaan dengan. Tampaknya kita tidak pernah meresa puas dengan yang kita capai atau miliki, bisa jadi ini melekat di masyarakat Barat sekarang yang mengangap kemajuan keberhasilan dan kemajuan, berapa pun ongkos yang harus dikeluarkan. Adalah ungkapan-ungakapn permainan. (prinsip yang banyak dianut, Pen), pergilah keluar, railah sebanyak mungkin, jangan puas dengan yang ada pada anda sekarang” (Herbert Benson, 2000: 190).
Daniel Goleman dengan Emotional Intelligence-nya atau Stephen R. R Covey dengan 7 Habits-nya, juga menyebutka data-data atau indikasi tenteng kekacauan prilaku dan mental luas melanda masyarakat Amerika (Barat). Fenomena Seks bebas, pornografi, penyalah-gunaan Narkoba, kriminalitas, kekerasan, bunuh diri, dan lain-lain merupakan bukti nyata bahwa masyarakat barat sedang mengalami krisis rohani hebat. Sampai di sini, psikologi tidak bisa memperlihatkan dirinya sebagai obat rohani seperti yang diharapkan oleh para pemikir seluler. Alih-alih menjadi solusi, bahkan ia memperpanjang daftar problem kemanusiaan yang ada.
Jika psikologi bisa membuktikan dirinya sebagai sebuah konsep keilmuan yang benar-benar bermanfaat, sudah tentu masyarakat manusia akan menyambutnya dengan penuh suka cita. Bahkan, psikologi bisa menjadi “agama modern” yang berkembang sangat pesat dan meluas. Namun kenyataanya, psikologi hanya ilmu formalitas yang sepi pengaruh dan kering makna.
C. kelemahan Fundamental
Kegagalan peran psikologi di hadapan berbagai problem menusia modern adalah sesuatu yang mudah dipahami. Konsep ilmu psikologi sendiri berdiri atas landasan yang lemah, dangkal, dan sempit.
Sejak semula psikologi dikenalkan di tengah-tengah menusia dengan motivasi buruk, yaitu mengganti peran agama. Psikologi bisa dianggap sebagai agama bagi manusia-manusia yang tidak mau mempercayai nilai-nilai keyakinan agama. Di negara-negara komunis, studi psikologi mendapatkan tempat yang sangat hangat. Tokoh-tokoh yang banyak dianut pemikirannya dalam studi ini, misalnya Charles Darwin, Karl Marx, Sigmund Freud, atau Frederick Nietzsche, sedang tokoh-tokoh tersebut adalah musuh-musuh agama (Islam).
Di sisi lain, psikologi tidak memberikan tempat bagi Tuhan (baca: Allah swt.) dan nilai-nilai keimanan. Seburuk-buruk situasi masyarakat Romawi di masa lalu, mereka masih mengenal Tuhan. Upaya memutus hubungan antara Tuhan dan manusia ini. Jelas merupakan inti dari segala kelemahan, kehinaan, dan kebangkrutan.
“Maka siapa yang mengingkari Thagut (segala sesembahan selain Allah) dan dia beriman kepada Allah sesungguhnya ia telah berpegang dengan simpul tali yang amat teguh yang tidak akan pernah terputus. Dan Allah maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 256)
Selain itu, psikologi tidak mempercayai eksistensi jiwa (ruh) manusia. Istilah paling tinggi yang diberikan untuk jiwa adalah alam bawah sadar (the unconscious). Menarik mencermati buku Emotional-Intelligence (EI) karya Daniel Goleman. Buku ini mendapat sambutan luar biasa dari publik dunia. Tidak kurang, Hallary Rodham Clinton (istri Bill Clinton) memuji buku EI itu dengan pujian tinggi namun disana, Goleman menjelaskan prilaku-prilaku emotional manusia dengan pendekatan yang materialistis. Setiap prilaku manusia dia carikan pembenaran dari fungsi-fungsi sel saraf yang ada di otak kanan dan kiri.
Goleman ( dan para pemikir psikologi lainnya) tidak mau mengakui keberadaan jiwa (the soul) sebagai pemdorong utama di balik setiap prilaku manusia. Anjuran Goleman untuk memperhatikan kecerdasan emosi (EQ), selain kecerdasan intelektual (IQ), adalah seruan yang layak untuk dihargai. Namun, mengenbalikan semua urusan emosi ke analisis fungsi sel saraf di otak kanan dan kiri, justru mementahkan kembali semangat Emotional Intelligence itu. Hal ini sama saja mengulang-ulang kembali logika kaum meterialis, padahal dominasi IQ terhadap EQ terjadi justru karena semangat materialisme itu.
Dr. Robert E. Ornstein dalam bukunya the Psykology of Consciousness, mengatakan, “pendekatan barat yang ilmiah objektif dan tak pandang bulu, dengan penekanan eksklusifnya pada logika analisis, menyulitkan sebagian besat kita untuk memahami suatu psikologi yang didasarkan pada keberadaan yang lain, yaitu satu cara berpikir intuitif (dengan perasaan, pen. ) yang menyeluruh (intuitive gestalt mode of thought)” (Herbert Benson, 2000: 122-123).
Jika menyimak pemikiran-pemikiran para penulis populer Barat seperti Dale Carnegie, Stephen R. Covey, Bobbi Deporter, Tory Heyden, dan lain-lain. Mereka tidak mengembangkan konsep psikologi kaku seperti yang telah disebutkan diatas. Mereka bersikap luwes, memberikan perhatian tinggi terhadap jiwa manusia, bahkan sebagian sangat Religius.
Di bagian akhir bukunya, The 7 Habits of Highly Effective People, Stephen R. Covey menulis tentang Catatan Pribadi. Di sini saya kutip utuh catatan tersebut, yaitu sebagai berikut.
“Sewaktu menyimpulkan buku ini, saya ingin menceritakan keyakinan pribadi saya sendiri sehubung dengan apa yang saya percaya merupakan sumber dari prinsip-prinsip yang benar. Saya percaya bahwa prinsip-prinsip yang benar adalah hukum alam dan bahwa Tuhan, sang Pencipta, adalah sumber dari segalanya, dan juga sumber suara hati kita. Saya percaya bahwa sampai tingkat dimana manusia hidup menurut suara hati ini, mereka akan tumbuh untuk memenuhi sifat dasar meraka; samapai tingkat di mana meraka tidak hidup menurut suara hati ini, meraka tidak akan tumbuh melebihi dunia binatang.
Saya percaya bahwa ada bagian dari sifat manusia yang tidak dapat di capai melalui undang-undang atau pendidikan, tetapi memerlukan kekuatan Tuhan untuk mengatasinya, saya percaya sebagai manusia, kita tidak dapat menyempurnakan diri kita sendiri. Sampai tingkat di mana kita menyelaraskan diri kita dengan prinsip yang benar, anugrah Ilahi akan diserahkan pada sifat kita sehingga memungkinkan kita memenuhi ukuran ciptaan kita. Dalam kata-kata Teilhard de Chardin: kita bukan manusia yang memiliki pengalaman spritual. Kita adalah makhluk spiritual yang memiliki pengalaman manusia.
Saya secara pribadi berjuang untuk apa yang saya sudah ceritakan dalam buku ini. Tetapi perjuangan tersebut berharga dan memuaskan. Perjuangan ini memberi makna bagi hidup saya da memungkin saya untuk mengasihi, melayani, dan berusaha lagi. Kembali, T .S. Eliot mengekspresikan dengan begitu indah penemuan dan keyakinan pribadi saya: kita tidak boleh berhenti menjelajahi. Dan akhir semua penjelajahan kita adalah untuk tiba di mana kita memulai dan untuk menyadari tempat tersebut untuk pertama kalinya” (Stephen R. Covey, 1997: 319. Ini adalah halaman akhir sebelum lampiran-lampiran).
Kalimat-kalimat yang ditulis oleh Stephen Covey di atas merupakan tikaman luar biasa terhadap konsep inti studi psikologi. Covey bukan saja menolak pradignma materialisme, namun dia juga menunjukkan bahwa yang dia pilih berharga, memuaskan, dan memberi makna hidup.
Terakhir, hanya sekedar tambahan, yaitu berkembang terapi kedokteran mutakhir. Di berbagai rumah sakit di berbagai negara maju telah banyak di terapkan pemberian bimbingan rohani di samping terapi medis.menurut penelitian, bimbingan rohani terbukti mempercepat tingkat kesembuhan pasien. Bimbingan rohani bisa meningkatkan optimisme dan ketenangan jiwa pasien, hal ini sanagt positif pengaryhnya bagi proses terapi medis yang dilakukan.
C. Mengambil Manfaat
Studi di bidang psikologi telah memakan energi luar biasa, baik di ukur dari waktu, pikiran, tenaga, juda dana. Di balik pengorbanan besar yang telah di tempuh, tentu ada titik-titik kebaikan yang bisa diambil. Allah ta’ala Maha Pemurah, tidak menjadikan daya upaya manusia, meskipun dirinya ingkar, sia-sia belaka. Dari sisi-sisi tertentu, kita masih bisa mengambil manfaat dari studi psikologi.
Khazanah ilmu psikologi jika diuraikan bisa beberapa bagian penting, yaitu:
1) Dasar-dasar ideologi dan pemikiran materialisme;
2) Pendapat Subjektif tokoh-tokoh filosof atau pemikir psikologi tentang keperibadian manusia;
3) Hasil-hasil penelitian prilaku sosial manusia;
4) Metodologi analisis, penelitian, dan aplikasi nilai-nilai etika dalam kehidupan sehari-hari.
Poin pertama, tentang ideologi materialisme, harus ditolak mentah-mentah dan dijauhkan sama sekali dari pikiran manusia, semua itu adalah ide-ide kekafiran dan destruksi kehidupan manusia, poin kedua, juga harus ditolak kerena tidak banyak berguna, dari manusia-manusia sakit akan muncul pemikian-pemikiran yang sakit juga. Sedang untuk poin ketiga, dan keempat, bisa dimanfaatkan selama masih lurus dan dalam batas-batas yang wajar. Studi sebaiknya diarahkan hanya untuk meraih dua poin terakhir itu.
Akan lebih baik lagi jika para pemikir dan cendekiawan Islam berlomba-lomba menghidupi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan metode-metode yang baik dan bijak dari khazanah ilmu pengetahuan modern. Tidak ada salahnya kita mengambil metode-metode itu, sebab ilmu yang baik, ia bersumber dari rahmat (kasih sayang) Allah. Ilmu pengetahuan modern tidak semuanya baik, namun tidak semuanya buruk. Di antara hasil-hasil jerih payah manusia itu ada kebaikan-kebaikan tertentu yang bisa dimanfaatkan.
Terkait dengan solusi stres, kita bisa mengambil sebagain kecil dari metode-metode psikologi, terutama untuk terapi-terapi yang bersifat sementara. Namun, untuk meraih solusi yang paripurna (sempurna) kita harus kembali ke ajaran-ajaran agama (Islam). Stres berakar dari persoalan kejiwaan (nafsiyyah), sedangkan yang benar-benar memahami jiwa itu sendiri adalah Sang Pencipta itu sendiri. Suka atau tidak suka, atau benci, kita harus kembali meniti jalan Allah ta’ala.
“Dan meraka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’”
(al-Israa’ [17]: 85)
Wallahu a’lam bish-shawwab.